


Ketika Mudik Menjadi Momok
Lima Nyawa Hilang, Jalan Rusak Jadi Penyebab
PELAKSANAAN pengamanan Lebaran tahun ini benar-benar ujian berat bagi Satlantas Polresta Balikpapan. Bayangkan saja, dalam tiga hari, lima nyawa melayang di jalan. Semuanya melibatkan pengendara roda dua sebagai korban. Dua kejadian yang menghilangkan empat nyawa terjadi di Jl Mulawarman, Manggar. Satunya lagi terjadi di jalan poros Samarinda-Balikpapan, Soekarno Hatta.
Tiga peristiwa maut yang berturut-turut itu terjadi hanya dua hari berselang apel gelar pasukan yang dilakukan Polda Kaltim pada Selasa (23/9) lalu. Kecelakaan maut beruntun itu seolah menjadi gong pembuka dimulainya pekerjaan berat tahunan.
Pengamanan Lebaran sebenarnya bukanlah pekerjaan yang terlalu sulit bagi polisi. Itu merupakan pekerjaan tahunan bagi polisi. Tetapi, kali ini benar-benar terasa beda. Empat nyawa menjadi pembuka operasi pengamanan Lebaran yang akan digelar selama dua pekan.
Kita tak bisa memberikan tanggung jawab kecelakaan yang terjadi kepada polisi. Tak ada yang mau kecelakaan terjadi. Tetapi, lima nyawa yang hilang itu bisa menjadi gambaran betapa pembunuh terbesar itu merupakan jalan raya.
Sebenarnya, apa penyebab tiga kecelakaan beruntun di Manggar dan jalan poros Soekarno Hatta. Ada beberapa penyebab yang bisa disebutkan, kondisi jalan yang buruk dan human error (kesalahan manusia, Red.). Tetapi, meski polisi belum menyimpulkan, dari kenyataan yang terjadi, penyebab kecelakaan bisa dibilang karena kondisi jalan yang buruk. Berikut beberapa alasannya.
Kondisi jalan di Balikpapan sungguh-sungguh tak nyaman untuk dilewati. Bukannya ingin mendramatisir, tetapi hampir sebagian besar jalan di kota ini dipenuhi lobak-lobak dan undakan yang amat mengganggu kenyamanan.
Kecelakaan yang terjadi di dekat Jembatan Manggar Baru yang menewaskan dua nyawa yakni Antonius dan Marchel terjadi karena jalan rusak sebelum jembatan. Menurut polisi, truk berjalan pelan karena ada undakan sedikit sebelum jembatan. Jalan berundak itulah yang rusak dan berlobang-lobang.
Berjalan dari arah Lamaru, ketika naik ke jembatan, truk meluncur dengan pelan di jalurnya menggunakan gigi porsneling dua. Kondisi jalan saat itu sedikit macet. Maklum, di kiri-kanan jembatan merupakan pasar Ramadan. Motor yang ditumpangi Marchel dan Antonius datang dari arah depan dengan kecepatan sedang.
Menurut pengemudi truk, Ngadiyono, motor di depannya menyalip motor lain dan angkot hingga keluar dari jalurnya. Tabrakan tak terhindarkan karena truk dan motor sudah amat dekat. Polisi sebenarnya tak mengiyakan bahwa penyebab kecelakaan merupakan jalan rusak, tetapi kenyataannya menyebutkan begitu. Truk pun bukannya tak ingin menghindar. Sudah dicoba untuk mengerem, tapi karena ada muatan di bak belakang, kekuatan rem tak bisa banyak menolong.
Masih di tempat yang sama, pada kecelakaan yang terjadi Jumat (26/9), penyebabnya juga hampir bisa dibilang karena jalanan rusak plus human error. Dalilnya, truk datang dari arah Sepinggan dan sampai di dekat Jembatan Manggar. Menurut beberapa orang saksi, truk datang dengan kecepatan cukup tinggi. Belum bisa diketahui, karena sopirnya masih buron.
Saat truk hendak memasuki jembatan, saat itu justru kondisi jalan sedang macet. Kondisi jalan jembatan yang rusak ditambah lagi ramainya pasar di dekat jembatan membuat kendaraan seperti merayap. Tabrakan tak bisa dihindari karena truk tak mengurangi kecepatan saat mendekati lokasi macet. Tiga mobil dan dua motor dihajarnya sekaligus. Dua orang yang tewas merupakan dua orang yang berbeda dari motor yang juga berbeda.
Sementara, kecelakaan yang terjadi di Jl Soekarno Hatta Km 11, lebih karena human error. Pengendara motor lupa menaikkan standar motornya. Sehingga, saat dia jalan dan hendak menikung ke kiri, membal kembali ke kanan karena standarnya masih terpasang.
Apapun itu, semuanya hanyalah dugaan semata. Tetapi, perlu diambil sikap serius. Empat jiwa yang melayang di satu tempat sekaligus, pastilah terjadi karena suatu sebab. Untuk mereka yang terkait, silahkan mencari sebabnya, sebelum timbul korban yang lain lagi. (qra)

Menengok dari Dekat Posko Penampungan Korban Kebakaran
Malas Mengenang, Pasrah dan Belajar Bercanda
TIADA duka yang tak mau pergi. Pasti ada ujung untuk semua kesedihan. Gambaran itulah yang tersirat ketika menengok ke posko pengungsian korban kebakaran Jl Gajah Mada. Di sela bersantap sahur, terdengar tawa dan canda dari mulut para korban kebakaran tersebut. Entah, apakah guyonan itu sekadar trik menghilangkan kedukaan atau memang bayangan kesedihan telah memupus dan pudar seiring waktu.
Ruangan dalam sebuah ruko itu tak terlalu luas. Bentuknya memanjang ke dalam. Lebarnya mungkin hanya empat meteran. Tapi, panjangnya lebih dari tujuh meter. Tak ada satu perabotan apapun di dalamnya. Yang ada hanya terpal besar berwarna hijau muda. Di atas terpal berhamparan belasan orang korban kebakaran. Mereka tak tidur. Tepatnya, tak bisa tidur. Mata mungkin terpejam, tapi pikiran mengenang peristiwa tak mengenakkan Senin (15/9) silam. Peristiwa yang membuat mereka berada di ruko yang disulap menjadi posko penampungan tersebut.
Di sudut ruangan, dekat pintu geser, seorang lelaki nampak sibuk memilah-milah pakaian. Sembari duduk bersila, dia mematut-matut beberapa celana dan baju. Yang kira-kira tak cocok dengannya dimasukkan ke dalam kardus. Kardus itu berfungsi sebagai lemari pakaian. Di depannya, ada seorang bocah, usianya sekitar 14 tahun. Berdua mereka mencari baju yang pas dan cocok dikenakan. Meski bekas, tetapi pakaian itu masih layak pakai.
Di tengah ruangan, beberapa ibu-ibu juga melakukan hal yang sama. Duduk bersila sembari memilih pakaian bekas bantuan warga. Sesekali, sambil memilih pakaian, canda terlontar dari mulut mereka. Meski terkesan seperti memperolok diri sendiri, tapi cukuplah untuk melumerkan suasana yang terkesan kaku.
Budi, nama pria itu menuturkan, baju itu dia dapatkan dari seorang temannya. Ada banyak temannya yang memberikan dia bantuan berupa baju. Tapi, hanya beberapa baju yang pas. Untungnya, postur anaknya sedikit lebih tinggi dan besar. Jadi, baju yang tak cocok buat dia, diberikan kepada anaknya.
Di dekat posisi Budi memilah pakaian, ada seorang pria lagi. Usianya sekira 68 tahunan. Badannya tegap. Rambutnya yang sudah jarang disisir rapi ke belakang. Kakek itu bernama Muhammad. Di Balikpapan, Muhammad tinggal bersama istrinya, Dharmani (64). Keduanya merupakan perantauan asal Surabaya. Mereka tiba di Balikpapan sejak 1974.
Rumah Muhammad di RT 10 No 02. Rumahnya lah yang menjadi tempat asal muasal api berkobar. Api, berasal dari lantai 2 rumahnya. Lantai dua rumahnya disewa oleh seorang wanita bernama Ruhami dengan seorang anaknya. Ruhami itulah yang menurut polisi menjadi penyebab kebakaran. Kegiatannya memasak kentang pada Senin (15/9) lalu sekitar pukul 15.15 Wita, menjadi petaka. Api kompornya naik ke atas dan membakar rumah tersebut.
“Dia penyewa baru, saya sudah sering ingatkan supaya jangan memasak di dalam kamar. Sudah saya buatkan tempat memasak khusus di lantai bawah dekat toilet, tapi dia ndak mau dan tetap memasak di atas,” kata Muhammad.
Muhammad sendiri bukanlah pemilik rumah itu. Dia hanyalah orang kepercayaan dari Udin. Dia diberi wewenang untuk tinggal dan menjaga rumah tersebut. Oleh Muhammad, lantai dua rumah itu lalu disewakan. “Sudahlah, saya agak malas mengingat itu. Semua telah terjadi, dan ini adalah musibah yang mesti dihadapi,” imbuhnya.
Tentang penyelidikan kebakaran, Muhammad menyerahkan sepenuhnya kepada polisi. Meski menjadi penyebab hilangnya rumah tinggalnya, namun Muhammad mengaku tak dendam dengan Ruhami. Sampai sekarang dia belum pernah ketemu dengan wanita itu. Kalaupun ketemu, Muhammad mengaku akan biasa-biasa saja. Toh, wanita itu juga menjadi korban.
Malam itu merupakan malam kedua korban kebakaran berada di posko penampungan. Sahur yang kedua pula. Tak banyak korban kebakaran yang ada di posko. Sebagian memilih tinggal di tempat keluarganya. Sementara, di posko depan tempekong Guang De Miao, tak nampak satu orang pun yang tinggal. Tenda yang dibangun kosong melompong. Semuanya berpindah ke ruko di Jl Gajah Mada.
Di depan posko, ada meja kayu yang lumayan besar. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 03.30 Wita, tetapi nasi bungkus yang disediakan masih tersisa banyak. Ada satu plastik besar berisi nasi bungkus yang belum terjamah. Padahal, lauknya cukup mengundang selera. Ada ayam goreng, sayur kangkung dan sambal. Banyaknya nasi disediakan berdasarkan jumlah korban, tapi ternyata banyak warga yang mengungsi ke rumah keluarganya. (qra)

Duh, Persiba!
JEPARA – Tanpa dua pemain asing, Persiba Balikpapan harus mengakui permainan Tim Laskar Kalinyamat. Anak asuh Peter Butler dibenamkan dengan skor mencolok 5-1, (1-2) dalam lanjutan Super Liga Indonesia di Gelora Bumi Kartini, Jepara, Sabtu (9/8) kemarin yang disiarkan langsung oleh Antv.
Persiba memang harus mengakui bahwa mereka kalah di segala lini. Anak-anak didik Junaidi menyerang sejak menit awal. Begitu peluit mulainya pertandingan ditiup oleh wasit Setiyono, Evaldo Silva dkk langsung menggebrak. Mereka langsung menusuk ke jantung pertahanan Persiba.
Di menit-menit awal, Persijap Jepara sudah membuat kalang kabut barisan belakang Persiba yang dikomandani Ferly La Ala. Kemelut sempat terjadi. Namun, bola berhasil dibuang keluar.
Tekanan tak mau berhenti. Di babak pertama dua gol bersarang di gawang Persiba yang dikawal oleh Deny Marsel 17 melalui titik pinalti. Eksekusi dilakukan dengan sangat baik oleh Evaldo. Nah, beberapa menit kemudian TA Musafri berhasil menyamakan kedudukan.
Berawal dari akselerasi yang dilakukan Pepito. Striker Persiba itu melakukan penetrasi dari tengah. Dua pemain belakang Persijap menjatuhkannya di dalam kotak pinalti. Wasit pun memberikan hadiah pinalti kepada Persiba. Musafri yang ditunjuk sebagai algojo melakukan tugasnya dengan sangat baik.
Namun, kesenangan anak-anak Persiba tak berlangsung lama. Striker Persijap, Enjang membuat Deny Marsel kembali memungut bola. Tendangan kerasnya dari sebelah kanan gawang melesak dan tak mampu dibendung penjaga gawang. Sampai dengan waktu jeda babak pertama, skor tetap 1-2 untuk Persijap Jepara.
Di babak kedua, Peter mulai mengutak-atik para pemainnya. Dia menarik Deddy Junaidi yang terlihat melakukan beberapa kali kesalahan di babak pertama. Deddy ditarik dan digantikan dengan Adrian.
Kubu Persijap Jepara juga melakukan perombakan. Charlie ditarik dan diganti dengan Ilham Hasan. Masuknya Ilham Hasan semakin mempertajam barisan depan Persijap. Buktinya, dua gol berhasil dilesakkan ke gawang Persiba. Satu gol lagi, berasal dari bunuh diri yang dilakukan oleh Achmad Taufik.
Dalam konferensi pers yang digelar oleh panitia pelaksana pertandingan, Junaidi mengatakan, anak didiknya bermain dengan sangat baik sore itu. Barisan belakangnya sungguh disiplin menjaga wilayah masing-masing. Dia juga patut berterima kasih dengan para pemain tengahnya yang berjibaku setengah mati di lapangan.
“Saya juga tak tahu, mereka bermain lepas sekali. Sepertinya ada motivasi tersendiri. Saya tak tahu apa itu. Yang jelas, hasil ini pasti sangat kami butuhkan,” katanya.
Junaidi menuturkan lagi, selama 2X45 menit pertandingan, timnya unggul di lini belakang dan tengah. Dua bek sayapnya mampu mengalirkan bola langsung ke jantung pertahanan Persiba. Sementara, para pemain sayap Persiba seolah tak bergerak sama sekali. “Mereka kalah di bek sayap. Dua pemain bek sayap mereka tak berani menusuk ke garis enambelas besar,” kata Junaidi.
Peter Butler sendiri tak mau banyak bicara. Ketika diberi kesempatan bicara, Peter menuturkan, dirinya tak mau memanfaatkan konferensi per situ untuk berkeluh kesah atau mengeluh. Dia sudah melihat bagaimana jalannya pertandingan. Kesimpulannya, semua pemainnya bermain di bawah top form.
“Hilangnya dua pemain asing kami sangat memukul. Anak-anak sering kehilangan bola,” imbuhnya. (qra)
Hilang Konsentrasi
Bagi Persiba, kebobolan di menit akhir merupakan yang ketiga kalinya secara beruntun menyinggahi tim yang sebelumnya berjuluk Selicin Minyak itu. Sebelumnya, ketika menjamu PSM Makassar dan Deltras Sidoarjo, gol-gol yang bersarang ke gawang Persiba juga terjadi di menit-menit akhir. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian pelatih Peter Butler untuk meramu timnya agar lebih hati-hati menjelang pertandingan usai.
Pertandingan kemarin berlangsung alot. Persita Tangerang yang bertindak selaku tuan rumah di tempat netral, mampu menekan sejak menit awal. Dua striker 'Pendekar Cisadane' langsung berusaha menusuk ke depan. Sempat
Serangan mengalir dari bek sayap Arisnanto alias Bosky. Namun, serangan demi serangan yang dibangun oleh Persiba selalu kandas di kaki para bek Persita. Barisan pertahanan Persita yang dipimpin oleh kapten Casmir Bruno benar-benar disiplin menjaga para pemain Persiba. Baik Musafri maupun M Rifky dibuat tak berkutik. Bagi Rifky yang memulai debutnya di laga resmi bersama Persiba, belum menunjukkan sebagai sosok striker berbahaya. Tak mampu menang dalam duel udara dan kalah ketika berhadapan satu lawan satu, Rifky bagai bola mati bagi Persiba. Mungkin hal yang wajar, karena ini merupakan laga perdana Rifky sebagai starter tim di laga resmi.
Meski begitu, Rifki merupakan tipikal penyerang yang gesit. Dia beberapa kali merepotkan barisan pertahanan Persita dengan tusukan-tusukannya dari kiri dan kanan gawang Persita. Tapi, bola selalu kandas sebelum Rifki masuk ke kotak penalti. Casmir Bruno benar-benar disiplin menjaga mantan bintang sinetron tersebut.
Robbie Gaspar juga sempat dua kali membuat penjaga gawang Persita, Bayu Cahyo jatuh bangun. Namun, dua tendangan kerasya dari luar kotak penalti masih jauh melenceng. Pun begitu dengan Bruno Zandonadi yang beberapa kali melakukan penetrasi di jantung pertahanan Persita. Bahkan Bruno sempat dijatuhkan Casmir di kotak 16, namun wasit Suhartono membiarkannya. Begitu pula saat sebelumnya Mushafri dijatuhkan di kotak 16, wasit pun tidak menganggap kejadian itu suatu pelanggaran. Sampai babak pertama berakhir, skor tetap 0-0.
Di babak kedua, tensi pertandingan berjalan lebih cepat. Masing-masing berusaha menyerang dan mencetak gol. Pelatih Persiba Peter Butler mengganti strategi, dia mengeluarkan Sofyan Harbiansyah dan memasukkan Achmad Zainul saat kick off babak kedua akan dimulai. Masuknya Zainul tak banyak membantu. Persiba kerap kerepotan dengan serangan Persita.
Sadar serangan Persiba hanya bertumpu pada Mushafri dan Bruno, pelatih Peter Butler menarik Rifky dengan memasukkan Deddy Junaidi. Penggantian ini membuat permainan Persiba makin berkembang. Deddy adalah pemain tengah yang memiliki naluri menyerang dan beberapa kali menyulitkan barisan belakang lawan.
Baru beberapa detik Dedy masuk, dia sudah mengancam gawang Persita. Sayang, saat menyambut umpan Mushafri, tendangannya justru mengarah ke kanan gawang Persita. Selepas itu Bruno pun beberapa kali membuat Casmir Bruno kerepotan. Musafri juga sempat mendapat peluang emas di babak kedua. Dia berdiri cukup bebas di dalam kotak penalti, tetapi tendangan yang diarahkannya melenceng beberapa centimeter dari gawang.
Terlalu asyik menyerang di menit akhir, rupanya membuat barisan pertahanan Persiba panik ketika diserang. Zainul membuat pelanggaran di sisi kiri pertahanan Persiba sekitar satu meter dari sudut lapangan. Made Wirahadi yang baru masuk menggantikan Djone Nicolas, mampu menyambut umpan tendangan bebas. Sundulan Made mengoyak gawang Persiba. Skor 1-0 untuk Persita. Sialnya, gol tersebut terjadi di menit-menit akhir pertandingan. Sehingga, Persiba tak sempat membalas hingga laga usai.
Peter Butler dalam konferensi pers yang digelar usai pertandingan menyatakan sangat kecewa dengan hasil pertandingan tersebut. Menurut dia, Persita benar-benar beruntung. Beberapa kali serangan yang dilakukan oleh anak asuhnya berhasil digagalkan. "Kami memegang kendali pertandingan. Tetapi, inilah sepakbola, tidak ada yang bisa menebak hasil akhirnya," kata
Sementara, Pelatih Persita Tangerang Agus Suparman mengatakan bahwa dia berterima kasih dengan para pemain belakangnya yang bermain cukup disiplin. Ketenangan para pemain belakangnya membuat pemain Persiba panik. Itulah yang membuat serangan demi serangan Persiba berhasil digagalkan. "Barisan belakang kami sangat disiplin sekali. Ini merupakan kemenangan yang baik sekali. Semua anggota tim menantikan kemenangan ini," kata Agus.
Sementara, sang pahlawan Persita Tangerang mengatakan, dia sangat senang dengan gol yang dilesakkannya tersebut. Dikatakannya, itu merupakan modal yang sangat bagus bagi timnya untuk melakoni laga demi laga selanjutnya. Dia ingin timnya terus menuai hasil positif. "Saya berharap, ini buka kemenangan terakhir untuk Persita. Tetapi, awal yang baik untuk terus memetik kemenangan," tutur Made. (qra)

Perut Ditumbuhi Kawat Tajam
SIAPA bisa mencegah takdir. Ketika Tuhan sudah berkehendak, maka akan jadilah ia. Ini cerita tentang seorang wanita yang benar-benar tabah, sabar dan segala kata puji untuk kekuatannya menghadapi penyakit. Yah, penyakit aneh yang sampai sekarang belum terdiagnosa. Bayangkan bagaimana bila setiap hari ada kawat yang tajamnya bak duri pohon salak menempel di perut. Keluar dari dalam tubuhmu, menembus kulitmu dan menimbulkan sakit yang tak terperikan.
Cerita bermula sekitar 17 tahun silam. Noorsyaidah, seorang wanita berusia 23 tahun. Syaidah remaja adalah wanita yang santun. Dia rajin beribadah. Pada suatu hari di antara hari-hari yang tak mengenakkan tahun 1991 silam, penderitaan Syaidah bermula.
Kala itu, Syaidah sedang mandi. Tak ada firasat apapun saat itu. Syaidah mandi seperti biasanya ia mandi. Tapi, dari situlah semua berawal. Tiba-tiba dia merasakan perih yang tak terkira di sekitar perutnya. Sakitnya seperti ditusuk benda tajam kecil yang menembus kulit.
Penasaran, Syaidah menoleh ke perutnya. Pemandangan yang tersaji benar-benar membuat wanita itu kaget. Ada benda kecil berujung runcing menusuk perutnya. Tak jelas dari mana datangnya benda itu. Belum hilang kekagetan Syaidah, benda asing itu gugur ke lantai kamar mandi. Syaidah memungutnya.
Belakangan, Syaidah mengerti bahwa benda asing itu adalah kawat berujung tajam. Syaidah bingung bukan kepalang. Darimana datangnya kawat itu? Belum lagi keheranan itu terjawab, rasa sakit kembali datang. Saat itu, Syaidah melihat ada kawat yang keluar dari dalam perutnya. Menembus kulit perutnya, meninggalkan bekas darah dan nanah. Barulah dia mengerti bahwa kawat itu berasal dari dalam perutnya.
Kawat di perut Syaidah berujung tajam. Panjangnya 10-20 cm. Bentuknya kecil sekali seperti kabel kuningan. Sejak 17 tahun silam, kawat-kawat di perut Syaidah sudah ribuan kawat tajam yang berjatuhan. Tak ada kalimat yang tepat untuk menggambarkan rasa sakit Syaidah. Dengan penderitaan yang terus berlipat itu, dia hanya bisa berpasrah diri.
Saat mulai mengetahui tentang penyakit itu, Syaidah disergap rasa bingung. Untungnya, dia memiliki sifat mulia. Syaidah tak ingin penyakitnya itu menjadi beban pikiran bagi orang lain. Itulah sebabnya, dia masih enggan menceritakan tentang kawat aneh itu kepada keluarganya yang lain. Kepada H Umar, ayah kandungnya sendiri, Syaidah enggan untuk menceritakannya.
Namun, bagaimanapun dia menutupi penyakitnya tersebut, akhirnya keluarganya tahu juga. Bermula dari kakaknya Safriansyah. Lama-kelamaan, ayah mereka pun mengetahui penyakit aneh tersebut. Hal itu tentu saja menjadi beban tersendiri bagi Syaidah. Yang membuat Syaidah stres adalah, ayahnya itu sudah tua dan sakit-sakitan.
Terakhir, yang membuat Syaidah benar-benar anjlok dan terpukul adalah ketika ayahnya meninggal. Bukan kematiannya yang membuat Syaidah merasa sangat terpukul. Tetapi, pemicunya. Syaidah ingat benar, ayahnya memegang perutnya. Lalu, dia melihat wajah ayahnya terlihat sedih sekali. Setelah itu, sakit ayahnya semakin parah dan kemudian berujung pada kematian.
Hari berganti hari. Syaidah mulai terbiasa dengan penyakit aneh yang dideritanya. Meski untuk itu dia mesti menjalani hari-hari yang perih. Setiap hari tersiksa dengan kawat tajam yang keluar dari perutnya. Yang tanpa permisi membuat lubang kecil di hampir seluruh titik di area perut Syaidah. Perihnya bukan main.
Syaidah adalah manusia super tabah. Dia menceritakan, sejak sakit anehnya itu menyerangnya, dia sudah mencoba berobat ke segala rumah sakit. Hanya satu yang dia tak mau, berobat ke paranormal. Syaidah berpikiran, kalau dia berobat ke paranormal, berarti dia sudah menduga yang tidak-tidak dengan penyakitnya. Padahal, dia ingin menerima semua cobaan itu dengan ikhlas.
“Saya tabah dan menerima dengan ikhlas. Pasrah kepada Allah, hanya itu yang membuat saya bertahan. Saya tak pernah berpikiran aneh tentang penyakit ini. Saya yakin, ini hanya cobaan Tuhan untuk membuat saya lebih sabar lagi,” kata Syaidah, yang membuat siapapun trenyuh mendengarnya.
Siapapun yang melihat kawat di perut Syaidah pasti akan bergidik ngeri. Menurut Syaidah, kawat tajam itu bisa bertahan sampai 1 atau 2 minggu di dalam perutnya. Waktu jatuhnya tak bisa diperkirakan. Kadang sedang mandi kawatnya jatuh. Atau, bila sedang shalat, tiba-tiba kawat tajamnya terjatuh.
Kawat-kawat tajam yang sudah jatuh dari perut Syaidah dikumpulkan. Bila sudah banyak, kawat itu dibakar. Cara membakarnya tak ada ritual khusus. Suka-suka mereka saja membakar.
“Sembarang saja, Mas, bakarnya gimana,” kata Safri.
Syaidah menuturkan, saat shalat adalah yang paling membuat dia sakit. Kenapa? Karena terkadang kawat-kawat tajam di perutnya menusuk bagian perutnya yang lain. Hal itu membuat dia kesakitan sekali. Tetapi, sakit seperti apapun, Syaidah tak mau meninggalkan shalat barang sekalipun. Dia tetap berusaha menunaikan kewajibannya tersebut.
“Semakin sakit, semakin saya berusaha. Saya nggak mau nyerah,” cetusnya.
IKUT KAKAK
Noorsyaidah paling akrab dengan kakaknya Safriansyah. Anak kelima dari enam bersaudara itu ikut dengan kakaknya sejak kecil. Sejak mereka tinggal di Samarinda kemudian pindah ke Sengata, Kutai Timur (Kutim). Nah, Safrilah orang pertama yang diberitahukan tentang penyakit adiknya itu. Safri tak ingat benar kapan dia diberitahu. Tapi, seingat dia, sudah lama sekali.
“Yah, waktu masih baru-barunya adik saya itu sakit,” kata pria yang memelihara jenggot dan kumis di wajahnya itu.
Waktu pertama kali diberitahu penyakit adiknya itu, Syafriansyah sempat tak percaya. Dia bingung dan sama sekali tak tahu apa yang dilihatnya.
“Siapa yang nggak bingung, Mas. Lihat kawat tajam keluar dari perut,” ujarnya.
Sejak lima tahun lalu, Safri pindah ke Sengata, Kutai Timur. Kutai Timur atau biasa disingkat Kutim merupakan pecahan dari Kabupaten Paser. Sengata adalah ibukotanya. Safri sekeluarga pindah ke sana dan mendirikan pengajian An Nisa. Syaidah juga diborong ke sana. Kebetulan sekali, dua anak Safri amat dekat dengan Noorsyaidah. Jadi, kemanapun Safri pindah, pasti Syaidah dibawa.
“Saya dulu pernah kerja di Barito Pasific lalu berhenti dan berniat berdagang, sekaligus mendirikan pengajian,” imbuhnya. “Sekalian memberikan suasana baru untuk Syaidah. Supaya dia lebih tenang. Di Sengata kan masih sepi, bagus untuk menenangkan diri,” sambungnya.
MULAI MENGAJAR
Sejak dua tahun silam, Noorsyaidah mulai mengajar di taman kanak-kanak (TK) Seni Semai Bangsa. TK itu berada di bawah kendali PKK Kutai Timur. Istri Bupati Kutim Ny Awang Faroek menjadi pelindung TK tersebut.
Safriansyah, kakak kandung Syaidah menceritakan, bekerja di TK amat membantu Syaidah melupakan sejenak penyakit yang dideritanya. Syaidah mulai bisa menjalani hidupnya dengan penuh semangat. Tak lagi terbebani dengan banyak macam rasa sakit dan perih di perutnya.
“Dia akrab dengan hampir semua muridnya. Tapi, saya ingat benar, ada enam atau lima orang murid yang amat dekat dengannya,” tutur pria tersebut.
Safri—panggilan akrab Syafriansyah—menuturkan, sebenarnya Syaidah tak bisa benar-benar dibilang sudah lepas dari penderitaan, ketika sedang mengajar. Syaidah mesti memegang ujung baju di bagian perutnya, agar bajunya itu tak mengenai ujung kawat yang menempel di perutnya. Sungguh, bukan pekerjaan yang mudah, mengajar di depan kelas sambil berkutat dengan rasa sakit.
Selama menjadi guru TK, tak satupun guru-guru yang lain di sekolahnya tahu tentang penyakit Syaidah. Hal itu memang sengaja dilakukan. Safri tak ingin sakit adiknya itu menjadi beban bagi orang lain. Syaidah juga yang meminta agar sakitnya itu dirahasiakan untuk sementara. Di lingkungan sekolah, hanya Ny Awang Faroek yang mengetahui tentang penyakitnya itu. Syaidah berpesan kepada Ny Awang supaya tak menyebarluaskannya lagi.
“Ibu Bupati sering bantu kami. Kadang, kalau ke Jakarta, beliau sering konsultasi dengan ulama tentang penyakit adik saya,” tuturnya.
TAK MAU DIOBATI PARANORMAL
DUA pekan terakhir ini, Noorsyaidah tinggal di Jl Merdeka III Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim). Di Samarinda, ada kakak kandung Noorsyaidah yang lain selain Safriansyah yakni Hj Siti Robyah. Rumah kakak Syaidah itu terletak di dalam gang yang cukup besar. Ada garasi mobil di depan rumahnya. Teras rumahnya dipenuhi tanaman hias dan pot bunga yang menarik.
Sejak berita tentang penyakit Syaidah menyebarluas, rumah asri itu ramai didatangi. Setiap menit, setiap jam, ada saja yang bertandang ke sana. Maksud dan tujuannya bermacam-macam. Ada yang sekadar bersimpati. Tapi, ada juga yang datang dengan maksud baik, untuk menolong Syaidah dari penyakitnya. Mereka yang datang dengan maksud itu adalah paranormal. Bahkan, sempat ada paranormal yang pernah berusaha menyembuhkan Syaidah dengan cara menggelar ritual khusus. Tapi, akhirnya paranormal itu sendiri yang kerasukan.
Sejak itu, keluarga Syaidah sedikit memilah-milah setiap tamu yang hendak berkunjung. Namun, Safriansyah selalu siap menjawab pertanyaan apapun tentang adiknya. Syafriansyah adalah pimpinan pengajian An Nisa di Sengata, Kutim. Safrilah orang yang selalu berada di belakang Syaidah. Apapun tentang adiknya, Safri pasti akan selalu berusaha menolongnya.
Safri juga yang mengatur tentang pengobatan adiknya. Dia yang paling keras menentang, bila Syaidah akan diperiksa oleh paranormal. Menurutnya, dia sekeluarga yakin bahwa apapun itu pasti datangnya dari Tuhan. Pun begitu dengan penyakit adiknya. Jadi, dia tak akan mengobati ke paranormal, karena itu akan membuatnya berpikir bahwa penyakitnya itu ditimbulkan oleh manusia.
“Saya tetap berusaha untuk mengobati, tapi bukan ke paranormal,” katanya, mantap.
Di Samarinda, Syaidah bukanlah orang baru. Dulu, dia pernah tinggal lama di rumah tersebut. Syaidah sendiri lahir di Samarinda di Jl Kebahagiaan. Di rumah kakaknya di Jl Merdeka itu, Syaidah juga cukup dikenal oleh para tetangganya. Tapi, para tetangga baru tahu tentang penyakit tersebut, saat koran-koran mulai memberitakannya, awal Juli lalu.
Reny, salah seorang tetangga Hj Siti Rabyah di Jl Merdeka menuturkan, dia sudah lama bertetangga dengan kakak Syaidah itu. Dulu, dia memang pernah mendengar tentang penyakit itu. Tapi, karena tak pernah melihat secara langsung, Reny tak lekas percaya.
“Iya, Mas. Dulu pernah ada kabar, tapi, saya kan belum pernah lihat langsung. Jadi, nggak percaya,” kata ibu muda tersebut.
Rumah Reny terletak persis di sebelah kiri (jika menghadap rumah kakak Syaidah). Reny berjualan makanan ringan dan sembako di rumahnya. Sore itu, ketik a sedang ditemui, Reny sedang bersama ibu dan seorang anaknya.
“Kami jarang sih, kumpul dengan keluarga Syaidah. Syaidah juga jarang keluar, yah, mungkin karena penyakitnya itu ya,” ungkapnya.
DIOBATI RUMAH SAKIT
Sejak Jumat (11/7) lalu, Noorsyaidah mulai menjalani perawatan di RSUD A Wahab Sjahranie (RSUD AWS), Samarinda. Pengobatan Syaidah langsung ditangani oleh Direktur RSUD AWS dr Adjie Syirafudin.
Syaidah menjalani beberapa item pemeriksaan, yakni tes darah, rontgen serta CT Scan. Pengambilan sampel darah ditujukan untuk mengetahui apakah ada kelainan dalam darahnya. Rumah sakit juga berusaha memastikan bahwa benda yang keluar dari tubuh Syaidah memang kawat besi.
“Tim kami sudah melakukan penelitian. Kami berusaha mengidentifikasi benda apa yang ada di dalam perutnya,” kata Adjie.
Tapi sayangnya, Adjie tak bersedia menyebutkan hasil pemeriksaan medis. Menurutnya, itu atas permintaan keluarga Syaidah. Mereka tak ingin hasil pemeriksaan diketahui publik. “Itu juga merunut pada etika medis,” tuturnya.
RSUD AWS serius menangani penyakit Noorsyaidah. Untuk itu, sudah ada enam dokter spesialis disiapkan. Semuanya ahli di bidang masing-masing. Ada ahli bedah, ahli bedah tulang, ahli jiwa dan ahli rontgen.
“Kami full team. Ada juga ulama yang akan mendampingi,” ungkap Adjie.
Kenapa harus ada ulama? Adjie menuturkan, ulama diperlukan untuk berunding dengan para dokter, kalau-kalau penyakit yang dialami oleh Syaidah tak berhubungan dengan medis. Ulama itu yang akan banyak berperan.
“Kami juga tak ingin mengesampingkan unsur apapun, termasuk faktor nonmedis,” imbuhnya.
Di rumah sakit, sebuah kamar khusus di Ruang Teratai sudah disiapkan. Namun, pihak rumah sakit belum bisa menjelaskan kapan tepatnya semua rencana itu akan dilakukan. Saat ini, pihaknya baru saja melakukan pemeriksaan awal. Semuanya, tergantung dengan keluarga Syaidah dan Syaidah sendiri.
ISTIRAHAT TOTAL
Sejak Sabtu (12/7) lalu, Noorsyaidah beristirahat total di rumah kakaknya Jl Merdeka III. Tamu yang datang hanya diterima di teras rumah. Keluarga Syaidah banyak yang berdatangan ke rumah tersebut. Rupanya, Noorsyaidah dan kakaknya benar-benar menyembunyikan perihal penyakit itu.
Buktinya, banyak keluarga Syaidah yang bahkan baru tahu penyakitnya setelah membaca di koran. Syaidah rupanya enggan membagi kesusahannya dengan orang lain. Dia lebih ingin membawa rasa tak nyaman itu sendirian.
“Dia memang sengaja tak mau bilang ke banyak orang. Banyak keluarga yang ndak tahu soal penyakitnya. Dia tak mau nyusahin keluarga,” tutur Safriansyah, kakak kandung Noorsyaidah.
Sebelum beristirahat total, beberapa pejabat sempat datang ke rumah Hj Siti Robyah di Jl Merdeka III. Walikota Samarinda Achmad Amiens dan istrinya juga sempat datang. Nah, beberapa hari setelah orang nomor satu di Samarinda itu datang, RSUD AWS menawarkan bantuan untuk pengobatan Syaidah.
“Saya tak tahu siapa yang biayai pengobatan. Kami hanya diminta datang ke rumah sakit. Sampai sekarang belum keluar satu peserpun,” ujar Safriansyah. (**)

Diiringi Lagu Rohani, Tibe Masuk Liang Lahat
Upacara Adat Ditiadakan, Hanya Potong Hewan
Yunus dimakamkan tanpa upacara adat. Keluarga hanya memanggil pendeta Rustam Tommy dari Gereja Bethel Tabernakel. Di rumah Deborah di Jl Banjar RT 08, pelayat dan keluarga Debora hanya menyanyikan lagu-lagu rohani.
Mengenakan pakaian hitam-hitam, Deborah memimpin upacara adat tersebut. Dia khusyuk menyanyikan kidung-kidung di dekat jenazah Tibe. Rumah sederhana Deborah tak sanggup menampung banyaknya pelayat.
Untungnya, rumah Deborah terletak persis di pinggir jalan besar. Jadi, tepat di depan rumahnya di pasang puluhan kursi plastik.
Lima belas menit kurang sebelum pukul 14.00 Wita, jenazah diberangkatkan ke pemakaman menggunakan mobil dari Yayasan Kasimo. Belasan motor dan mobil serta angkot mengiringi kepergian jenazah ke pemakaman. Rata-rata pelayat menggunakan baju berwarna hitam, tanda berduka cita.
Ditemui di lokasi pemakaman, Rustam menuturkan, memang tidak ada upacara adat. Hanya ada upacara pelepasan jenazah di rumah duka.
“Kelurganya yang meminta begitu,” tuturnya.
Sejak Rabu lalu, berarti Tibe dimakamkan di rumahnya selama 2 malam 3 hari. Sejak itu, keluarganya dari luar Balikpapan. Tibe disemayamkan selama itu untuk menunggu keluarganya yang berada di luar Balikpapan kumpul.
Keterangan yang berhasil dilansir Post Metro, keluarga Tibe sudah memotong hewan untuk menjamu para pelayat yang berdatangan. Pemotongan hewan, meski tak mengikutkan beberapa rangkaian upacara adat, juga merupakan bentuk penghormatan kepada jenazah.
Lokasi pemakaman Tibe terletak di pinggir jalan. Dari ujung jalan masuk ke lokasi pemakaman, hanya sekitar 150 meter lebih di sebelah kanan jalan. Ketika dimakamkan, puluhan orang sanak saudaranya berkumpul di sisi kuburan untuk melihatnya. Ada beberapa karangan bunga duka cita. Karangan bunga dari Pemkot Balikpapan tampak diletakkan di sisi makam.
Prosesi yang paling mengharukan adalah ketika tanah liang lahat sudah selesai diuruk. Setelah semua karangan bunga diletakkan bersisian di sebelah kiri dan kanan makam, air bunga yang sudah dibawa disiramkan.
Orang pertama yang menyiramkan air bunga adalah Deborah. Ibu kandung tibe tak bisa menahan tangisnya. Wanita yang sebagian rambutnya sudah memutih itu menyiram bunga sembari sesengukan. Botol air mineral yang digunakan untuk menyiram makam sampai nyaris jatuh lantaran Deborah tak mampu menahan tangisnya yang pecah.
Keluarga yang lain langsung berdatangan menenangkan wanita tersebut. Setelah Deborah selesai menyiram air bunga, kerabat yang lain bergiliran. Mereka berdiri dan membentuk lingkaran di sisi makam lalu menyiram secara bergantian. Ketika prosesi itu terjadi, semua yang ada di kompleks pekuburan tak ada yang mengeluarkan suara sama sekali.
Yoseph Patasik, kakak kandung Tibe menuturkan, keluarga memang tak melakukan upacara adat pemakaman. Tibe dimakamkan hanya dengan upacara pelepasan jenazah biasa.
“Sulit, Mas. Kalau menuruti adat, prosesinya banyak sekali. Keluarga tak mampu. Jadi, hanya dengan upacara pelepasan biasa saja,” kata pria berkacamata itu.
Yoseph menuturkan, meski tampak selalu menangis, namun ibunya biasa saja. Sedih, ya, sedih. Tapi, tak terlalu shock. “Semua sudah merelakan. Sudah diatur begitu,” tutur kakak tertua dari keluarga Deborah. Deborah adalah orang tua tunggal Yoseph dan adik-adiknya. Ayah kandung mereka, Tasik sudah meninggal beberapa tahun silam.
Yoseph menceritakan, adiknya itu pernah bekerja di sebuah perusahaan pertukangan di Sulawesi. Selepas keluar dari perusahaan itu, Yunus pernah juga bekerja sebagai tukang.
“Dia kan pintar menukang. Pintar juga mengukir, jadi, enak nyari kerjaan,” tuturnya.
Tentang kenapa penyebab Yunus stres, Yoseph mengaku dia tak tahu pasti. Menurutnya, stres adiknya itu datang tiba-tiba. Kurang lebih setahun yang lalu. Semenjak itu, Yunus berhenti sebagai tukang.
“Dia lebih banyak diam dan mengurung diri,” kata mantan tukang las itu.
Untuk mengingatkan, Yunus Tandulau alias Tibe adalah warga Banjar RT 08 Jl, Gunung Sari Ilir. Dia tewas pada banjir besar yang melumpuhkan Balikpapan Rabu (9/7) lalu. Tibe loncat ke parit besar di belakang rumahnya. Saat itu, parit yang diloncati Tibe arusnya sedang deras karena luapan air banjir. Begitu tubuh lajang 39 tahun itu menyentuh parit, air bah berwarna kekuningan yang berarus deras langsung menggulungnya. Mayatnya ditemukan di Jembatan Mariati, satu jam kemudian.
Peristiwa nahas itu terjadi sekitar pukul 08.30 Wita. Menurut keterangan keluarganya, semula Tibe bermain-main di belakang rumahnya yang terendam banjir. Saat dia sedang bermain, keluarganya yang lain sibuk membersihkan rumah.
Tak jelas sebabnya, Tibe lantas meloncat ke parit yang berarus deras. Beberapa warga yang melihatnya langsung berteriak histeris. Keluarga Tibe sempat mengejar mengikuti Jl Banjar sampai ke Jembatan Mariati. Tapi, nyawa Tibe tak berhasil diselamatkan. (qra)
Pasrah, Semua Kehendak-Nya
Rumah berpagar besi warna hijau itu terlihat ramai sekali. Beberapa kursi disusun di depan rumah. Ada banyak tamu yang datang. Sebentar masuk rumah, lalu keluar lagi. Di ruang depan rumah tersebut, orangtua Gerald dan Neil Hutagalung tampak duduk bersila bersandar dinding semen. Semua tamu yang datang pasti mendatangi mereka berdua. Memeluk dan memberikan semangat.
Istri Rotua, Nurhabiba Simamora tampak paling terpukul. Ketika kejadian, dia sedang berada di tempatnya mengajar di SMP 12. Wanita itu adalah guru di sekolah itu. Dia mendengar kabar dari keluarganya dan langsung histeris pulang ke rumah.
Setiap ada keluarganya yang datang dan menghampiri dia, Nurhabiba kembali histeris. Tangisnya langsung pecah. Sulit menerima musibah itu. Pasangan itu baru memiliki dua anak, ya, Gerald dan Neil itu. Jadi, wajar, bila kehilangannya benar-benar membuat Nurhabiba beberapa kali pingsan.
Rotua menuturkan, semua yang terjadi sudah diatur oleh-Nya. Dia sudah berusaha sekuat tenaga menolong kedua anaknya. Tapi, Tuhan berkehendak lain. Dua putranya tewas di depan matanya sendiri.
“Itu semua kehendak-Nya. Saya sudah berusaha. Tapi, apa mau dikata. Setidanya, saya sudah berusaha sekuat tenaga,” tuturnya.
Ketika menolong anaknya, Rotua menuturkan, dia sempat tersengat listrik. Hal itu sempat membuat dia lemas. Apalagi, saat itu dia sedang terendam pasir sedalam satu meter. Ujung kakinya sampai ke dada terendam.
“Saya sempat lemas. Tak bisa berbuat apa-apa. Waktu disengat listrik, saya sudah pasrah,” katanya.
Dituturkannya, beberapa saat setelah longsor datang. Orang sudah banyak berkumpul di sekitar rumahnya. Saat Rotua berhasil mengeluarkan diri dari rendaman tanah longsor yang menimbunnya sampai ke dada, orang-orang berteriak agar dia segera keluar dari rumah.
“Saya bingung, Mas. Banyak yang teriak supaya saya segera keluar. Mereka teriak-teriak, awas listrik, awas listrik. Tapi saya tetap berjalan mencari anak saya,” ungkapnya.
Rotua mengaku, dirinya sama sekali tak mendengar ada suara lonceng yang dibunyikan. Ketika longsor terjadi, hujan memang sangat deras. Dia dan dua anaknya tak sedikitpun beranjak dari dalam rumah.
“Tak ada suara lonceng, kami di dalam rumah saja,” tuturnya, setelah berusaha mengingat sejenak.
Saat Post Metro ke Karang Rejo, tempat jenazah Gerald dan Neil Hutagalung akan disemayamkan, orang sudah banyak berkumpul. Mereka ada keluarga dan kerabat Rotua Hutagalung. Dari beberapa pelayat yang datang, tampak Kabag Humas Dortje Marpaung. Mengenakan baju panitia PON XVII Kaltim berwarna merah, Dortje tak banyak omong. Dia hanya menganggukkan kepala, ketika diberi salam.
Jenazah dua bocah nahas itu datang sekitar pukul 16.00 Wita. Kehebohan langsung terjadi. Ibu kandung Gerald dan Neil sontak menangis histeris. Gerald dan Neil dibaringkan di satu kasur yang sama bersprei kuning.
Meski sudah dimandikan, tetapi bekas lebam dan biru di sekujur wajah dua bocah itu tak bisa dihilangkan. Wajah Gerald dan Neil biru di sana-sini. Mulai dari pipi kiri, pelipis, dagu dan semua bagian keningnya membiru. (qra)
Dua Tertimbun Longsor, 1 Terjun ke Sungai
BALIKPAPAN – Hujan deras selama 2 jam yang mengguyur ‘Kota Beriman’ Selasa (9/7) pagi kemarin memakan korban. Tiga orang tewas mengenaskan. Satu korban bernama Yunus Tibe alias Ibe. Dia tewas setelah terjun ke parit di dekat rumahnya. Dua korban lainnya adalah warga Jl Martadinata kelurahan Mekar Sari RT 63, Balikpapan Selatan, Gerald Jean Hutagalung (7) dan Neil Hutagalung. Keduanya merupakan kakak beradik. Mereka mati lemas setelah tertimbun longsor yang menerjang rumahnya.
Ibe (39) merupakan warga RT 08 No 04 l Banjar, Gunung Sari Ilir. Lajang itu mengidap stres sejak satu tahun silam. Ibe tewas tenggelam setelah terjun ke parit besar di belakang Toko Utama. Mayatnya ditemukan di Jembatan Mariati.
Kejadiannya sekitar pukul 08.30 Wita. Menurut keterangan keluarganya, semula Ibe bermain-main di belakang rumahnya yang terendam banjir. Saat dia sedang bermain, keluarganya yang lain sibuk membersihkan rumah.
Bosan main di rumah, Ibe akhirnya keluar. Dia berjalan sendirian menuju jembatan di belakang Toko Utama. Di situ, Ibe sempat berdiri dan memandangi parit di bawahnya. Lalu, dia naik ke pagar jembatan. Dia turun ke parit melalui pagar. Ketika sudah dekat di parit, dia langsung terjun.
Ada seorang warga yang sempat menarik tangannya dan berusaha menarik ke atas. Tapi, Ibe berontak. Dia malah melepaskan tangan orang yang berniat menolongnya. Jenazah pria malang itu ditemukan di kawasan Jembatan Mariati.
Kejadian yang menimpa Gerald dan Neil sedikit berbeda. Dua bocah itu tertimbun tanah longsor hidup-hidup. Ketika kejadian, Gerald sedang nonton televisi di ruang tengah rumahnya. Sementara Neil masih tidur pulas di kamarnya.
Gerald adalah murid TK yang sedianya akan dimasukkan ke SD Kartika V tahun ini. Sedangkan Neil tahun ini naik kelas IV di SD Kartika V. Bocah itu ditemukan pertama kali oleh tim pencari yang terdiri dari Brimob, TNI dan Polisi serta anggota SAR Balikpapan. Dia ditemukan dalam posisi tertelungkup. Menurut tim pencari, tubuh Gerald tertanam pasir dan bebatuan sedalam satu meter. Jasad Gerald ditemukan sekitar pukul 11.30 Wita.
Kurang dari satu jam kemudian, tubuh kaku Neil ditemukan tak jauh dari tempat Gerald ditemukan. Posisi tubuh Neil ketika ditemukan terlentang. Neil bertelanjang dada. Dia hanya mengenakan celana pendek. Ketika ditemukan, kondisi Neil terlihat lebih mengenaskan ketimbang adiknya. Selain tertimbun tanah longsoran setinggi 1 meter lebih, ada juga bebatuan yang beratnya puluhan kilogram menindih tubuhnya. Hal itu membuat evakuasi berjalan lambat.
Jenazahnya ditemukan sekitar pukul 12.15 Wita, tapi baru satu jam kemudian bisa diangkat. Sekitar pukul 13.10 Wita, tim pencari berhasil mengeluarkan jenazahnya dibantu eskavator mini milik Departemen Pekerjaan Umum (DPU).
Poskamling yang letaknya berdekatan dengan tempat jenazah ditemukan terpaksa dibongkar untuk memudahkan eskavator menyingkirkan tanah dan bebatuan di sekitar jenazah Neil. Mayat Neil langusng dievakuasi ke RS Bhayangkara Polda Kaltim untuk divisum.
Informasi yang berhasil dihimpun harian ini, peristiwa nahas itu berlangsung dalam hitungan detik saja. Waktu persisnya kejadian, menurut Rotua Johannes Mulia Hutagalung, ayah kandung Gerald dan Neil, sekitar pukul 07.30 Wita.
Rotua menuturkan, pada jam tersebut dia berada di ruang tengah, bersama Gerald yang sedang menonton televisi. Dia memang sudah waspada dengan ancaman longsor. Gerald yang berada di sampingnya dipegang erat-erat.
Pada saat tanah longsor menerjang rumahnya, dia sempat memeluk Gerald. Tapi, ketika banyak tanah dan batu yang menghantamnya. Pegangan tangannya melemah. Apalagi ketika lemari di ruang keluarganya terjatuh dan menimpanya. Tangannya langsung terlepas dan dia kehilangan anaknya.
“Saya sendiri terendam sampai ke dada. Saya sungguh tak bisa lagi berbuat apa-apa. Saya sudah berusaha,” kata ayah dua orang anak itu.
Rotua menuturkan, ketika berhasil menyelamatkan diri dari rendaman tanah, dia langsung berdiri dan berusaha mencari anaknya. Dia sempat mendengar erangan Gerald. Anaknya itu tertimbun lemari. Dia berusaha menggali. Tapi, bebatuan yang besarnya hampir seukuran badannya membuat dia tak bisa berbuat banyak.
Neil tertimpa longsor ketika dia sedang tidur pulas di kamarnya. Tim pencari dari Yonif 600 Raider yang ditemui menuturkan, di bawah tubuh Neil ada ranjang yang digunakannya. Dia juga tertimpa besi beton besar yang jatuh dari rumah yang terletak di atas bukit.
“Masih simpang siur, tak jelas benar asal batu itu dari mana,” kata salah seorang anggota polisi yang ikut melakukan pencarian.
Jenazah Gerald dan Neil akan disemayamkan di rumah kerabat mereka di Karang Rejo. Di sana, kedua orangtua Gerald dan Neil sudah menunggu. Tempat penyemayaman juga sudah disiapkan. Menurut keterangan beberapa keluarga Rotua, rencananya dua kakak beradik itu akan dimakamkan Rabu (hari ini, Red.).
Wawali H Rizal Effendi sempat datang ke lokasi longsor untuk melihat proses pencarian jenazah. Rizal menuturkan, dirinya meminta warga waspada , kosongkan lahan sangat rawan.
“Longsor ini adalah imbas dari hujan yang sangat luar biasa,” katanya.
Rizal menambahkan, pihaknya akan melakukan pembenahan lingkungan dan meminta kepada warga agar tidak membangun rumah di kawasan rawan longsor.
“Daerah itu memang rawan longsor,” tuturnya.
Peristiwa nahas yang menimpa Gerald dan Neil itu menyegarkan kembali ingatan tentang longsor yang nyaris sama pada 1 September 2007 lalu di Telaga Sari. Lokasi kejadiannya juga tak terlalu jauh. Pada longsor tahun lalu lima orang warga Balikpapan tewas. Mereka adalah Hasanuddin (60), Nida Anisa ( 12), Joni Sembayang (62), dan Jumadi (43) dan Hj Nurlia (49).
Pada peristiwa setahun silam itu, intensitas hujannya tinggi sekali. Data BMG menunjukkan, Balikpapan diguyur hujan selama 12 jam. Sedangkan pada pagi kemarin, lama curah hujan ‘hanya’ 2 jam. Dengan rata-rata 50 mm/jam. Hujan terderas terjadi di antara pukul 07.00 Wita sampai 09.00 Wita.
PUKUL LONCENG
Beberapa menit sebelum longsor hebat yang menerjang rumah Rotua Johannes Mulia Hutagalung, lonceng tanda bahaya sempat dibunyikan oleh warga. Pada saat lonceng itu dibunyikan, banyak warga yang keluar dari rumahnya.
Menurut beberapa warga, lonceng di poskamling dibunyikan bila hujan yang mengguyur semakin deras dan rawan longsor. Lonceng berbunyi atas perintah Ketua RT.
“Kalau tak salah, saya sempat lihat mereka (Rotua sekeluarga, Red.) keluar dari rumah. Tapi, pas mereka masuk lagi, baru longsornya datang,” kata salah seorang warga.
Beberapa warga bahkan menyebutkan bahwa dirinya mendengar ada suara keras sebelum longsor terjadi. Nah, ketika mendengar bunyi keras itulah, beberapa warga langsung membunyikan kentongan.
Pantauan Post Metro, ketika jenazah sudah berhasil ditemukan, beberapa tim pencari langsung bersiap-siap pulang. Sisa reruntuhan rumah dibersihkan sendiri oleh warga di lokasi kejadian.
Lokasi tanah longsor itu memang rawan sekali. Ada jalan aspal yang menghubungkan ke lokasi longsor. Tetapi, jalan aspalnya terjal dan menukik sekali.
Dari jalan masuk, letak rumah Rotua sekira 150 meter di sebelah kanan jalan. Rumah itu semi permanen. Dibuat berpetak-petak. Di samping sebelah kiri (jika membelakangi rumah Rotua, Red.) ada bukit yang lumayan tinggi. Tepat di atas bukit itu ada rumah. Diduga, bukit itulah yang longsor dan menimpa rumah Rotua. Ada beberapa keluarga Rotua yang juga tinggal berdekatan dengan Rotua.
TIM GABUNGAN
Ratusan orang terjun melakukan pencarian jenazah Gerald Hutagalung dan Neil Hutagalung, dua kakak beradik yang menjadi korban longsor. Semua instansi baik TNI, Polisi dan pemerintahan menurunkan personelnya.
TNI menurunkan 49 orang anggota Yonif 600 Raider yang berbasis di Manggar, Balikpapan Timur. Polisi menerjunkan anggota dari 30 anggota Brimobda Kaltim dan 30 personel Satsamapta Polresta Balikpapan. Tim SAR dan unit pemadam kebakaran juga tak mau ketinggalan. Dua unit mobil pemadam bersiaga di lokasi kejadian bila diperlukan.
Pencarian memakan waktu empat jam lebih, sejak pukul 09.00 Wita. Dibantu warga, tim pencari akhirnya berhasil menemukan dua korban tewas yakni Gerald dan Neil Hutagalung. Neil terakhir kali ditemukan. Tubuhnya tertindih batu pondasi besar dan tanah bercampur lumpur setinggi satu meter lebih. (qra/bai/bm-5/moe)

Persiapan Atlet Karate Kaltim Jelang PON XVII (3-habis)
Kumite Lebih Berpeluang, Rebutan Emas di Kelas Bawah
TIM karate kata Kaltim putra dan putri memang bertabur prestasi. Mereka merupakan yang terbaik di Kaltim. Namun, pelatih rupanya lebih berharap pada tim atlet karate kumite untuk menangguk emas pada PON XVII nanti.
Tim karate kata hanya 6 orang. Terbagi dalam dua regu, yakni beregu dan perorangan. Yang ikut ambil bagian dalam perorangan, juga merupakan atlet beregu. Jumlah atlet karate kumite lebih banyak lagi, 12 orang. Nah, sebenarnya, di pundak para atlet karate kumite inilah kesempatan meraih emas ditumpukan.
Pada perhelatan PON XVII kali ini, Kaltim memang membawa cukup banyak atlet. Sebanyak 18 orang atlet dibawa untuk merebut 17 emas yang diperebutkan. Meski prestasi Kaltim tak terlalu mencolok, namun faktor tuan rumah kali ini, amat mempengaruhi para karateka Kaltim.
Kumite memang memperebutkan cukup banyak emas. Dari 12 kelas cabang kumite putra dan putri, ada 13 emas yang diperebutkan.
“Saya optimistis tim karate bisa berbicara banyak di kelas bawah,” kata Baron Bahar, pelatih kepala tim karate putra Kaltim, ketika dikonfirmasi beberapa waktu lalu.
Pada latihan di home base tim karate Kaltim di Hotel Budiman, beberapa hari lalu, tim karate kumite Kaltim terlihat bersemangat sekali berlatih. Waktu satu jam untuk berlatih dimanfaatkan sebaik mungkin oleh para atlet. Merek berlatih duel satu lawan satu dan menahan pukulan dengan objek teman sendiri.
“Mereka memang diintensifkan untuk terus berlatih tanding. Kami juga mengajak mereka berlatih ke venue, pada dua kali seminggu. Tujuannya, agar mereka tak terlalu kaku dengan suasana di stadion,” tutur Baron.
Dihubungi terpisah, Ade Bagus atlet karate kumite mengatakan, dirinya amat bersemangat mengikuti PON kali ini. Dia sudah mempersiapkan diri dengan mengikuti beberapa kejuaraan karate. Kejuaraan terakhir yang dia ikuti adalah MAESA Cup di Jakarta, beberapa bulan silam.
“Saya berhasil dapat dua perunggu,” ungkapnya.
Ade—panggilan akrab Ade Bagus—akan bertarung dalam kelas 65 dan kelas bebas. Dia merupakan petarung andalan Kaltim. Ade berasal dari
Dengan modal yang mumpuni itu, seharusnya karate Kaltim bisa berbicara banyak pada perhelatan di rumah sendiri kali ini. Namun, banyak atlet mempersoalkan faktor non tekhnis yang justru banyak mempengaruhi penampilan mereka di pertandingan. Itu sebabnya, pelatih memilih datang lebih awal dan memperkenalkan semua atletnya pada stadion yang akan mereka gunakan untuk bertanding. Cara tersebut, dipercaya ampuh untuk mengusir rasa gugup, grogi dan nervous dalam pertandingan. Semoga saja. Sebab, jika tak ada emas dalam cabor ini, muka tuan rumah menjadi taruhannya. Uang dihambur banyak dalam perhelatan kali ini. Lebih banyak dari biasanya. (qra)
Persiapan Atlet Karate Kaltim Jelang PON XVII (2)
Paling Senior, Kampung Halaman Musuh Terberat
TAK hanya kontingen karate kata putri yang menjanjikan emas. Karate kata putra Kaltim juga berharap dapat menangguk emas. Alasan mereka bahkan lebih kuat lagi, sebab, PON ini adalah ajang terakhir kontingen karate putra tersebut. Jadi, emas merupakan kado perpisahan terindah yang akan mereka persembahkan untuk masyarakat Kaltim.
“Kami yang paling senior. Kami sudah berhadapan dengan banyak atlet senior. Sekarang sudah banyak yang pensiun. Nanti, yang akan kami hadapi, adalah atlet karate junior. Tapi, tentunya mereka tak bisa dipandang remeh,” kata Hermawan, salah satu atlet karate kata putra Kaltim.
Atlet karate putra Kaltim terdiri atas Hermawan (29), Urbanus (29) dan Sentosa (32). Ketiganya kelahiran Makassar. Masuk ke Kaltim pada 2003 lalu. PON XVII kali ini merupakan kiprah mereka yang ketiga. Dua yang terakhir ketiganya membela Kaltim.
Di Kaltim, ketiganya bermukim di Tenggarong, Kukar. Mereka bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di sana. “Baru di sini kami bisa menikmati status sebagai PNS dan memiliki masa depan yang cerah,” kata mereka kompak.
Ketika membela Kaltim pada PON di Palembang, empat tahun lalu, kontingen karate kata putra Kaltim memang tak menangguk medali sama sekali. Juara 1 dan 2 diambil oleh Sulsel dan DKI Jakarta. Kaltim sama sekali tak mendapat apa-apa.
“Dua daerah itu memang musuh bebuyutan kami. Di PON, banyak faktor lain yang membuat kami sulit menjadi juara. Tapi, kali ini, kami adalah tuan rumah. Faktor X itu pasti akan mendukung kami,” kata Sentosa.
Sentosa mengatakan, atlet dari Sulsel nanti dia kenal semua. Pun begitu kontingen dari DKI yang rencananya akan diinapkan di Hotel Budiman, bersama mereka. Semuanya masih junior. Tapi, kemampuannya tak bisa dipandang remeh.
“Karate ini adalah pertandingan yang sulit diprediksi. Tapi, kami yakin pasti bisa berbuat sesuatu. Kami tuan rumah, itu hal yang sangat penting,” tutur Hermawan, yang dibenarkan Sentosa dan Urbanus.
Sebelum PON, Hermawan dkk sudah beberapa kali melakoni kejuaraan ujicoba. Pada tahun 2006 lalu, ketiganya sukses meraih juara 1 pada kejuaraan MAESA Cup di Manado, masih di tahun 2006 mereka juga sukses menggondol juara 1 dalam kejuaraan Shotokan Karate Federasi Internasional atau SKIF di Tokyo, Jepang. Selanjutnya, pada tahun 2008 ketiganya juga sukses menjadi juara di MAESA Cup, yang dihelat di Jakarta.
Diantara ketiga orang itu, Sentosa adalah yang paling senior dari segi umur. Sentosa menuturkan, mereka bertiga sudah kenal sejak masih kecil. Di Makassar, ketiganya tinggal di kompleks yang sama di eks Perumahan PT Kertas II.
“Kami kenal karate sejak kecil. Saya yang pertama kali terjun ke karate. Lalu, waktu mereka juga terjun, akhirnya saya bergabung dengan mereka,” tuturnya.
Meski mereka bertiga berasal dari Makassar, tetapi ketiganya sudah berjanji tidak akan memandang Sulsel sebagai kampung halamannya lagi. Mereka sudah diberi penghidupan yang layak di Kaltim. Lima tahun mengabdi di Kaltim.
“Kami dilayani dengan amat baik di sini. Kaltim sudah menjadi kampung halaman kami. Kami pasti akan berjuang sekuat tenaga mengalahkan kami. Musuh terbesar kami adalah suasana di lapangan. Itu yang paling berpengaruh,” cetus Hermawan.
Pada PON nanti, Hermawan akan turun dalam kata perorangan. Waktu PON di Palembang lalu, dia tak mendapatkan apa-apa. Musuh terbesarnya masih Sulsel, kampung halamannya sendiri. Tapi, dia tak akan membiarkan itu terjadi dalam PON di Kaltim kali ini. Dia sudah berlatih keras dua tahun terakhir ini. Misinya hanya satu, membuat semua warga Kaltim memberi mereka senyum perpisahan yang terindah.
“Kami semua sudah tua, Mas. Memang, di Karate tidak ada batasan umur, tapi, mereka yang junior-junior kan perlu diberi kesempatan. Kalau kami terus yang main, kapan mereka akan naik. Tapi, kalau nanti kami tetap ditunjuk mewakili Kaltim, kami pasti siap,” imbuhnya. (qra)
Persiapan Atlet Karate Kaltim Jelang PON XVII (1)
Belajar Kompak, Andalkan Semangat dan Dukungan
PELAKSANAAN PON semakin dekat. Pada tanggal 5 Juli mendatang, upacara pembukaan PON XVII akan dilakukan di Samarinda.
Pertandingan karate akan dimainkan di Balikpapan. Venue megah sudah disiapkan untuk perhelatan tersebut. Balikpapan Sport and Convention Center (BSCC) akan menjadi saksi perjuangan 18 orang atlet asal Kaltim. Bagaimana mereka berdarah-darah memperjuangkan emas.
Suasana latihan di halaman belakang Hotel Budiman itu riang sekali. Santai dan penuh canda. Sesama atlet bercanda ria di sela-sela latihan. Post Metro bertandang ke home base kontingen karate Kaltim Rabu (2/7) sore kemarin. Latihan itu berlangsung satu jam, dimulai pukul 17.00 Wita.
Ketika latihan, sebanyak 18 orang itu dibagi dalam dua kelompok. Khusus komite, mereka berlatih sendiri berpasang-pasangan. Dan khusus kata, mereka juga berlatih jurus per jurus sendiri. Suasananya nyaman sekali. Dibuat sesantai mungkin oleh pelatih, meskipun tetap serius.
Kaltim memang kesulitan menggenjot emas dari olahraga karate. Stok atlet yang tersedia sedikit. Tetapi, jangan ditanya bagaimana semangat para atlet itu. Atlet karate Kaltim dari komite dan kata sudah menyatukan tekad untuk memberikan yang terbaik.
Untuk atlet karate kata putri misalnya. Jelang PON, mereka sudah melakoni dua kali pertandingan dan menorehkan hasil maksimal. Dua kali mereka mengikuti kejuaraan untuk mengasah kemampuan. Yang pertama pada 2006 lalu yakni Kejurnas Inkado di Jakarta. Kala itu, atlet karate kata putri beregu berhasil meraih perak. Sementara, yang perorangan berhasil menyabet emas. Lalu, pada tahun 2008 ketika Kejurnas Inkado di Makassar, tim yang sama juga berhasil menorehkan prestasi. Mereka mendapat emas dari beregu dan perorangan.
Tiga orang yang membanggakan itu adalah Hariyanti, Afriani Hastuti dan Irawati Haris. Ketiganya berasal dari Sengata, Kutim. Tim beregu kata itu sudah terbentu sejak 2006 lalu. Mereka memang khusus dipersiapkan untuk menghadapi PON Kaltim.
“Kami bertiga tinggal di Sengata. Sebelumnya kami lama di Sulawesi Selatan,” kata Tuti, dengan logat
Tim putri kata beregu kaltim memang kompak. Ketika latihan kemarin, ketiganya menunjukkan kekompakan yang tak dibuat-buat. Mereka berlatih sembari memejamkan mata. Jurus demi jurus dimainkan hanya mengikuti feeling. Tapi, tak satupun kesalahan dibuat.
“Kami sudah terbiasa kompak. Tak hanya waktu latihan. Kami dibiasakan kompak untuk urusan apa saja. Kami punya banyak baju yang sama. Pelatih pun kadang marah kalau jalan tak barengan,” kata Irawati Haris, atlet paling senior di tim beregu kata putri.
Ira—panggilan akrab Irawati—menuturkan, untuk kata tak hanya kekompakan yang terpenting. Power, keteraturan gerakan, pernafasan dan kelembutan menjadi yang terpenting. Jadi, tak bisa hanya mengandalkan kompak saja. “Kompak memang sangat perlu, karena dalam beregu itu harus kompak. Tapi, kalau kompak saja sementara powernya tidak ada, ya, percuma saja,” kata Ira, yang diamini oleh Tuti dan Anti.
Meski Irawati adalah yang paling senior untuk atlet karate kata putri, tetapi bukan dia yang menjadi atlet karate kata perorangan. Pelatih lebih memilih Afriani Hastuti alias Tuti sebagai atlet karate kata perorangan. Gerakannya yang lembut menjadi pertimbangan tersendiri. Itu sebab dia berhasil menyabet emas dua kali pada Kejurnas Inkado 2006 dan 2008 lalu.
Nah, dengan persiapan selama dua tahun itu, Ira, Tuti dan Anti mengatakan bahwa mereka akan berusaha sekuat tenaga memberi yang terbaik. Untuk emas, mereka pasti mengejar target tersebut. Namun, demi ambisi tersebut, mereka meminta dukungan semua warga Kaltim. (qra)
Duka Darwis yang Dua Anaknya Tewas Tenggelam
Berusaha Tegar, Kini Hanya Tinggal Dua Anak Kembar
SUASANA duka masih amat terlihat di rumah Darwis Maspat, ayah kandung Muhammad Iswar Nugraha Pratama (12) dan Muhammad Ilham Darwansyah (9), dua korban tenggelam di pantai Gelora Patra. Di halaman rumah Idris, ada tenda kecil berwarna orange. Tenda tak hanya untuk urusan perkawinan. Mereka yang berduka juga terkadang memasang tenda untuk tempat berkumpul sanak keluarga dan tetangga yang berdatangan menyampaikan ungkapan duka cita.
Pembicaraan berlangsung santai. Meski masih memendam duka mendalam, namun Darwis dan istrinya masih mau melayani wawancara. Obrolan terhenti ketika kerabat Darwis menerima telepon dari KP3 Semayang, bahwa anaknya sudah ditemukan.
Darwis menuturkan, Rabu pagi itu dia dan istrinya memang pergi keluar rumah untuk mendaftarkan Iswar sekolah. Sekolah yang didatangi adalah MTs Ibnu Khaldun, Muara Rapak. Iswar sudah menyetujui sekolah tersebut, walau sebelumnya dia meminta dimasukkan di SMP 10 Gunung Bakaran.
Sebelum pergi, sekitar pukul 07.30 Wita, Darwis sempat mengobrol dengan Iswar. Dia berpesan ke Iswar supaya diam di rumah dan menjaga dua anaknya. Iswar adalah anak sulung keluarga tersebut. Dia punya tiga adik. Selain dua yang disebut di atas, ada lagi adik paling bungsu yakni Muhammad Ridwan. Nah, Ridwan dan Iwan merupakan saudara kembar. Ridwan kini berada di Makassar, ikut keluarga di
Ketika Darwis dan istrinya, Rinawati, sampai di MTs Ibnu Khaldun, ternyata pendaftaran harus disertai anak yang akan didaftarkan sekolah. Sekolah mengadakan tes mengaji untuk anak yang akan masuk sekolah setingkal SMP tersebut. Karena Darwis tak membawa Iswar, akhirnya dia pulang kembali ke rumahnya. Namun, sesampainya di rumah, dia tak mendapati siapapun di dalam rumah. Padahal sudah dicari kemana-mana.
“Saya kembali ke sekolah. Kasihan, istri saya nunggu lama di
Rupanya, pihak sekolah memberikan dispensasi. Boleh tak membawa anak, asal ada
Di sanalah kabar duka itu datang. Saat Wati, ibu Iswar sedang memfoto copy
“Saya panik, Mas. Langsung saya menuju ke pantai belakang Gelora Patra,” tuturnya.
Wati tak banyak berkisah. Wanita itu sepertinya masih berusaha memendam kesedihan. Matanya juga masih terlihat basah. Sembari menemani mengobrol, Wati sesekali mengangkat telepon dari sanak keluarganya.
Waktu Darwis sedang asyik bercerita, telepon milik keluarga Darwis berbunyi.
“Hallo, siapa ini. Hah, iya..iya.” Telepon ditutup. Keluarga Darwis itu menghirup nafas sejenak, sebelum akhirnya berbicara ke Darwis dan istrinya. “Ilham sudah ditemukan, tadi telepon dari KP3 Semayang,” katanya.
“Alhamdulillah…alhamdulillah.” Istri Darwis sontak menengadahkan tangannya sembari menyebut nama Allah. Pun begitu dengan Darwis. Pria itu beringsut dan mendekati istrinya. Mereka berdua berpegangan tangan, saling memberikan semangat.
Obrolan berhenti, Darwis dan istrinya bersiap menjemput anaknya. Beberapa keluarga yang lain juga bergegas menuju ke tempat ditemukannya mayat Ilham.
“Terima kasih, ya, Mas. Kalau memang nggak ada halangan, saya mau menguburkan dia (Ilham, Red.) sekarang. Kasihan, sudah satu hari lebih,” kata Darwis.
Dua anak Darwis meninggal berbarengan dalam satu hari. Sungguh sebuah pukulan yang amat sangat menyakitkan. Namun, Darwis sekuat tenaga berusaha menyembunyikan kesedihannya. Istrinya pun begitu, berusaha bersabar, meski sedihnya bukan alang kepalang.
Kini, tinggal dua anak kembar Darwis yang tersisa. Yang satu ikut keluarga di
* Berita ini terbit tanggal 4 Juli lalu, tapi waktu itu saya libur, jadi pakai inisial teman, bm-5.